Mausoleum van Motman yang tak lagi megah - Sejarah BOGOR

Post Top Ad

Setelah berakhirnya kekuasaan Belanda atas tanah Indonesia, banyak peninggalan-peninggalan bersejarah yang hingga kini masih tersisa, salah satunya adalah Mausoleum van Motman yang terletak di Desa Sibanteng, Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor. Kurang lebih sekitar 25 kilometer dari pusat kota Bogor.


Warisan sejarah tersebut berupa komplek pemakaman keluarga milik seorang yang dahulu sangat terkenal dengan kekayaan dan tanahnya yang luas, yaitu Gerrit Willem Casimir van Motman atau disingkat G.W.C Van Motman (1773-1821).



Makam keluarga ini tidak seperti makam-makam lain pada umumnya, karena di komplek makam ini terdapat sebuah bangunan berkubah besar yang digunakan sebagai tempat "bersemayam" sisa-sisa anggota keluarganya. Di bawah kubah tersebut, jenazah tidak dikubur melainkan dijadikan mumi dan ditempatkan dalam kotak kayu dengan penutup kaca. Itu sebabnya, komplek pemakaman van Motman ini cukup unik dan berbeda dari pemakaman Belanda lainnya, sehingga Pemerintah Daerah kemudiam menetapkan kawasan ini sebagai Bangunan Cagar Budaya yang dilindungi kelestariannya.

G.W.C Van Motman lahir pada 11 Januari 1773 di Genneper huis, Belanda. Ia merupakan salah satu yang bisa bertahan hidup setelah sebagian besar keluarganya meninggal dunia akibat penyakit TBC ( Tuberkulosis ), ketika Belanda masih dalam jajahan Perancis.

Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan VOC, dan memulai kariernya sebagai administrator gudang VOC sampai akhirnya berlayar ke tahan Hindia-Belanda. Setelah VOC bangkrut, van Motman menjadi tuan tanah di Buitenzorg (Bogor tempo dulu) dengan kepemilikan tanah yang sangat luas.

Di Nanggoeng pada tahun 1880, ia menguasai tanah seluas 12.596 hektar, sedangkan di Buitenzorg dan sekitarnya ia menguasai lahan seluas 117.099 yang meliputi Semplak, Kedong Badak, Roempin, Tjikoleang, Trogong, Dramaga, Tjiampea, Djamboe, Nangoeng, Bolang, Djasinga, Pondok Gedeh, Pasar Langkap, dan Rosa di Gunung Preanger, juga Tjikandi Ilir dan Tjikandi Oedik di Bantam. Sebagian besar tanahnya dibudidayakan sebagai perkebunan teh, kopi, kina, karet, tebu dan persawahan.

Landhuis Nangoeng, van Motman


Tidak jelas bagaimana ia bisa memiliki tanah seluas itu, hanya saja seperti yang kita tahu. Kekuasaan Belanda atas tanah-tanah jajahannya itu tidak terbatas, jadi mereka bisa seenaknya main rebut dan ambil tanah milik pribumi lalu melegalkannya dengan secarik dokumen.

Di Dramaga, Van Motman mendirikan sebuah landhuis yang ia sebut Groot Dramaga atau Dramaga raya. Rumah itu cukup besar dan memiliki 20 kamar. Rumah lainnya terletak di daerah Djamboe, tapi hingga kini yang masih berdiri hanyalah yang di Dramaga.





Selain berukuran besar, Rumah Dramaga juga digambarkan sangat indah dengan lantainya yang terbalut marmer putih dengan dindingnya yang bercat putih. Ketika bersantai di teras depan pun akan merasa sangat nyaman, karena pemandangannya yang sangat indah. Sebuah kolam berukuran besar dengan pancuran air yang cukup deras menjadi bagian dari komplek Landhuis Dramaga ini.

Di halamannya terdapat sebuah lonceng besar yang berdiri megah di antara tanaman-tanaman yang rimbun dan banyak buahnya itu seperti duku, pala, begonia, pakis, dsb. Sementara kuda-kuda peliharaannya berlalu lalang di sepanjang jalan.

Keindahan Landhuis Dramaga kini tidak akan bisa lagi dinikmati pada saat ini. Bangunan yang digunakan sebagai guesthous IPB ini telah beberapa kali mengalami renovasi. Sudah tidak ada lagi, marmer putih yang dingin kalau dipijak, begitu juga dengan kolam besar dan taman yang indah di halamannya.


Pada masanya, Dramaga terkenal dengan julukan Liberia-koffie-aanplantingen atau Perkebunan Kopi Liberia. Kopi mulanya ditanam oleh GWC setelah bermukim di Buitenzorg. Namun karena dianggap tidak menguntungkan, maka perkebunan kopi diganti menjadi kebun tebu, lalu kebun teh. Namun perkebunan teh ini juga tidak berlangsung lama karena munculnya wabah lalat hitam. Pada akhirnya, kebun di Dramaga ditanami pohon-pohon karet.

Setelah 1811, sebagian tanah yang berada di Djambu mulai digunakan sebagai pemakaman untuk keluarga van Motman setelah putrinya yang bernama Maria Henrietta van Motman dikuburkan di sini pada Desember 1811.

Delapan dari 12 orang anak van Motman pun dikuburkan di pemakaman keluarga ini. Di antara mereka ada yang meninggal dalam usia masih malita. Hanya satu orang saja yang dimakamkan dalam usia tua (82 tahun), yaitu Petrus Cornelis. Kemungkinan besar, s Petrus inilah yang dijadikan mumi lalu jenazahnya disimpan di dalam Maoseleum berkubah. Secara keseluruhan ada total 33 makam yang terdapar di area ini.



Lalu dimanakah makam sang tuan tanah, GWC Van Motman berada? Di komplek pemakaman Belanda ini tidak ada batu nisan bertuliskan namanya, namun sebuah kabar menyebutkan bahwa si tuan tanah itu meninggal dunia pada 25 Mei 1821 di rumahnya di Dramaga, lalu dimakamkan di daerah Jasinga.

Hingga akhir tahun 1965, sisa-sisa dari anggota keluarga van Motman yang disimpan dalam peti kaca masih bisa dilihat di dalam bangunan berkubah ini. Tapi sekarang sudah tidak ada yang bersisa.



Luas pemakaman keluarga van Motman adalah 3300 m2 dengan dikeliling oleh pilar kuat dan jalan sepanjang 300 meter dan lebar 3 meter yang menghubungkan komplek makam dengan jalan utama. Pada bagian depan gerbangnya, terpancang dua buah pilar tinggi dan kokoh. Hingga saat ini, lokasi tempat pilar itu berdiri dikenal sebagai Kampung Pilar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad