Perlawanan Petani Ciomas di masa penjajahan - Sejarah BOGOR

Post Top Ad

Perlawanan Petani Ciomas di masa penjajahan

Share This
Sepanjang abad ke-19 s/d awal ke-20, berbagai permasalahan muncul, mulai dari adanya pungutan paksa pajak dari sang tuang tanah kepada petani maupun penduduk yang menempati tanah tersebut, hingga tindakan-tindakan yang memaksakan kehendak. Kalau tidak menuruti keinginan penguasa, maka penduduk akan diusir secara paksa dengan beragam alasan yang memberatkan.


Selain itu, para petani yang kebetulan memiliki ladang di tanah partikelir, maka mereka harus menyerahkan seperlima dari hasil panennya kepada sang penguasa.

Tak jarang, para petani juga harus menjalani kerja paksa atau kompenian dengan jenis-jenis pekerjaan yang bermacam-macam. Pekerjaan yang dilakukan umumnya berlangsung selama tiga - lima hari dalam sebulan.

Tindakan penindasan dari penguasa kepada para petani itu kemudian memunculkan gerakan sosial atau pergolakan perlawanan dari rakyat. Selain muncul dari dampak tanah partikelir, perlawanan rakyat juga dipicu oleh ketidak adilan penguasa dan adanya dominasi dan campur-tangan orang-orang Eropa di berbagai bidang, mulai dari politik, ekonomi, hingga kulturan.

Wujud ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa dimunculkan dalam bentuk perlawanan sosial. Gerakan-gerakan ini tidak hanya ditujukan kepada tuan tanah saja, tetapi juga kepada sistem yang diterapkan dalam mengelola dan mensejahterakan para petani.


Di Ciomas, Bogor pada tahun 1886 terjadi perlawanan antara rakyat melawan penguasa yang dipicu oleh hal-hal disebutkan di atas.

Tindak kesewenang-wenangan kepada para petani di Ciomas tidak hanya menyangkut pajak yang tinggi dan kesejahteraan petani yang tidak diperhatikan, tapi juga perlakukan tuan tanah yang menjadikan petani sebagai budak mereka.

Bayangkan saja, para petani disuruh mengangkut hasil panen dari sawah ke tempat lumbung sejauh 15-1 km dengan berjalan kaki, termasuk juga wanita dan anak-anak yang dipaksa ikut bekerja selama 9 hari setiap bulannya.

Gerakan-gerakan perlawanan mulai muncul setelah adanya ketidakpuasan petani yang menolak kerja paksa di perkebunan kopi. Puncaknya terjadi pada 22 Februari 1886, yaitu ketika mereka menghabinsi Camat Ciomas waktu itu, R.M.H.Abdurrachman Adimenggala.

Di bulan yang sama, perlawanan petani yang dipimpin oleh Arpan dan Moh Idris berlanjut hingga ke daerah Pasir Paok, dan di sana mereka menolak untuk menyerah kepada KNIL atau tentara pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Satu bulan sebelum terjadinya kedua peristiwa tersebut, Moh Idris masih berada di sekitar Gunung Salak. Ia memang lahir di Ciomas, namun perjuangannya membuatnya selalu berpindah-pindah lokasi, seperti ke Sukabumi dan Ciampea. Ia adalah orang yang sangat benci pada tuan tanah dan kaki tangannya.

Sikap perlawanan tersebut, menjadikan banyak petani yang hengkang dari tanah partikelir dan turut bergabung dengan Moh Idris dan mulai merencanakan untuk menyerang land Ciomas.

Perlawanan berikutnya terjadi pada 19 Mei 1886. Mereka berhasil menduduki Ciomas bagian selatan. Serangan itu tidak dimaksudkan untuk merampok gudang-gudang yang ada di Sukamantri, Gadong, dan Warungloa tetapi lebih ditujukan secara khusus kepada sang tuan tanah.


Pada 20 Mei 1886, para pemberontak ikut menyusup dalam sebuah upacara sedekah bumi di Gadong. Upacara tersebut kebetulan dihadiri pula oleh semua pegawai tuan tanah. Upacara sedekah bumi adalah perayaan tahunan yang dilakukan para petani sebagai wujud syukur kepada pencipta dengan dimeriahkan permainan musik, tari-tarian, dan atraksi lainnya.

Ketika acara sedekah bumi tersebut akan berakhir, kaum pemberontak segera berhamburan keluar dan melakukan penyerangan. Mereka dengan membabi-buta segera melampiaskan kemarahannya kepada para pegawai dan kaki-tangan tuan tanah yang sering bertindak di luar batas.

Upacara sedekah bumi berakhir dengan pembantaian besar-besaran terhadap para pegawai dan kaki-tangan atau jongos sang tuan tanah. Dalam peristiwa itu, sebanyak 40 orang tewas terbunuh, dan 70 orang lainnya mengalami luka-luka. Sedangkan sang tuan tanah sendiri selamat, karena tidak ikut hadir dalam perayaan tersebut.

Gerakan perlawanan rakyat dan petani umumnya dipicu oleh perlakuan penguasa yang sering bertindak sewenang-wenang, dalam hal ini tuan tanah. Adapun bentuk perlawanan biasanya ditujukan kepada tuan tanah, pegawai pemerintah kolonial baik orang asing atau pribumi, para tengkulak, dan lintah darat.


Apa yang terjadi di Ciomas pada 1886 ternyata menjadi pemicu munculnya perlawanan petani lain di berbagai daerah. Beberapa gerakan perlawanan petani kepada penguasa, antara lain terjadi juga di:
  1. Ciampea (1913) yang dipicu oleh tindakan pengukuran tanah rakyat oleh penguasa yang dianggap tidak adil.
  2. Condet (1916) pimpinan Entong Gendut yang menyerang para tuan tanah yang melakukan tindakan kekerasan.
  3. Tangerang (1924) pimpinan Kaiin yang dipicu oleh tindakan sewenang-wenang pemerintah Belanda dan tuan tanah. Dalam peristiwa ini, kantor pemerintahan dan rumah para tuan tahan dibakar oleh petani dan rakyat.
  4. Kediri (1907) pimpinan Kiai Dermajaya yang menganggap dirinya sebagai ratu adil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad