Diskriminasi Pribumi di Sekolah-Sekolah Zaman Belanda - Sejarah BOGOR

Post Top Ad

Diskriminasi Pribumi di Sekolah-Sekolah Zaman Belanda

Share This
Walaupun sebagian masyarakat pribumi sangat beruntung bisa bersekolah di HIS, MULO atau HBS, tapi faktanya banyak dari mereka yang kerap mendapatkan diskriminasi.

Ketika Indonesia masih dikuasai oleh pemerintahan bentukan Belanda, yaitu Dutch East Indies atau Hindia-Belanda, pribumi yang berpenghasilan lebih dari 100 Gulden perbulannya bisa menyekolahkan putra dan putri mereka yang sudah berumur 6 tahun di Hollandsche Inlandsche School (HIS).



Adapun para pembesar dari kalangan pribumi lebih senang menyekolahkan anak-anak mereka di Europesche Lagere School (ELS). Masa pendidikan kedua sekolah ini berlangsung selama tujuh tahun, dengan bahasa pengantar menggunakan bahasa Belanda.

Berbeda dengan HIS yang rata-rata diisi oleh para pelajar dari kalangan pribumi, sebagian besar murid ELS adalah anak-anak keturunan Belanda, dan anak-anak pribumi dari kalangan tertentu saja.

Diskriminasi dan perbedaan antara HIS dan ELS dengan gamblang diceritakan dalam novel "OEROEG" karya Hella S.Haasse. Dalam novel yang pernah difilmkan dalam judul yang sama itu, diceritakan bahwa Oeroeg belajar di HIS dengan pakaian orang pribumi, sedangkan sahabat Belandanya, Johan Ten Berge bersekolah di ELS dengan pakaian eropa. Meski berbeda sekolah, namun keduanya tetap menyanyikan lagu yang sama di sekolah mereka yaitu Wilhelmus van Nassau dalam upacara pengibaran bendera merah-putih-biru.

Scene dalam film Oeroeg


Sekolah lain yang setara dengan HIS an ELS adalah Volkschool atau Sekolah Rakjat. Namun berbeda dengan HIS dan ELS, di Sekolah Rakyat hanya diajarkan cara menulis, berhitung, dan membaca saja tanpa disertai dengan pengetahuan umum dan keahlian.

Rata-rata anak pribumi yang sekolah di ELS maupun HBS ( Hogare Burgerlijke School ) adalah kaum minoritas yang harus tunduk pada orang-orang Belanda. Mereka dilarang menentang guru. Sedangkan mereka yang berkulit coklat dan bukan keturunan Eropa dianggap sebagai lnlander yang kelasnya berada di bawah Nederlander. Tapi jika orang tuannya ikut Gelijkgesteld maka status hukum anak dan keluarganya itu akan disamakan dengan orang-orang Eropa.

Diskriminasi terhadap kaum pribumi tidak hanya berlaku di sekolah-sekolah saja, tapi juga bisa terjadi di tempat-tempat umum seperti kolam renang, hingga bioskop.

Dalam film Oeroeg dikisahkan bahwa Oeroeg dan Johan berniat menonton film di bioskop, namun sialnya Oeroeg tidak bisa masuk ke ruangan khusus orang-orang Eropa sehingga Oeroeg pun masuk ke ruangan untuk pribumi yang lokasinya di belakang layar. Orang-orang Eropa bisa menikmati film sesuai gambar, sedangkan orang pribumi seperti menonton film dari cermin saja.

Diskriminasi terhadap pribumi juga terjadi di dalam gedung-gedung Societeit yaitu gedung tempat berkumpulnya para sosialita Belanda untuk bersenang-senang. Kalau ada orang pribumi yang masuk ke tempat itu, maka mereka umumnya adalah para jongos atau babu Belanda. Yang lebih menyakitkan lagi, di depan pintu masuk biasanya terpampang tulisan " Verboden voor honden en inlander ".

Sampai tahun 1945, hanya 10 persen penduduk pribumi yang bisa menikmati sekolah-sekolah tersebut. Kebanyakan dari mereka memiliki izajah sekolah dasar, seperti HIS, ELS, atau SR (Volkschool).

Sekolah lanjutan untuk lulusan HIS / ELS

Para lulusan HIS dan ELS umumnya akan meneruskan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi atau setara Sekolah Menengah Pertama (SMP). Seperti di sekolah dasar, di sini pun ada aturan yang mendiskriminasi kalangan pribumi.

Tamatan HIS bisa melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) dengan masa pendidikan tiga tahun, setelah itu pendidikan berlanjut hinga ke Algemeene Middelbare School (AMS) yang setingkat SMA dengan masa pendidikan tiga tahun. Lulusan AMS bisa meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu sekolah tinggi atau semacam universitas. Adapun para lulusan ELS hanya bisa melanjutkan pendidikan hingga HBS dengan mada belajar lima tahun.

Lulusan AMS atau HBS akan melanjutkan kuliahny di negeri Belanda, karena waktu itu belum ada universitas di Indonesia. Sekolah tinggi yang ada pun hanya STOVIA ( School tot Opleiding can Indisch Artsen ) yang dikenal dengan nama Sekolah Dokter Jawa yang berada di Kwitang. Kelak STOVIA berganti menjadi Geeneskundig Hoge School di Salemba.



Pada zamannya Dokter Soetoemoe, STOVIA hanya menerima para lulusan dari ELS saja, tapi setelah itu kampus ini hanya menerima lulusan dari HBA atau AMS. Selain sekolah kedokteran, di Batavia (Jakarta) juga berdiri sekolah hukum yang bernama Recht Hoge School yang gedungnya kini digunakan menjadi Kantor Kementerian Pertahanan.

Di Buitenzorg (Bogor) ada sekolah pertanian atau Landbouw School yang menjadi cikal bakal perguruan tinggi IPB. Adapun dalam bidang teknik ada Technik Hoge School di Bandung yang menjadi cikal bakal ITB.



1 komentar:

  1. Sebetulnya penggambaran "Belanda vs non-Belanda" ini terlalu hitam-putih agaknya. Sekolah-sekolah berbasis Eropa di masa itu, serupa dengan sekolah-sekolah internasional berbasiskan Eropa juga di Indonesia hari ini seperti JIS, Cita Buana, High Scope, dll, sekolah-sekolah itu memang dibedakan berdasarkan kewarganegaraan, kalau sekolah-sekolah pribumi tentu karena yang mendaftar anak-anak berstatus warga penduduk lokal, sementara sekolah macam ELS dan sejenisnya tentu dominan anak Eropa sesuai status kewarganegaraan mereka yang notabene Belanda. So, kurikulum dan budayanya jelas berbeda. Seperti halnya sekolah-sekolah internasional zaman skrg JIS dan sejenisnya, sudah barang tentu anak pribumi yang bisa masuk ke ELS adalah anak orang berpunya.

    Soal gedung-gedung Societeit juga keliru, mulanya eksklusif orang Eropa. Seiring berjalannya waktu, seperti di Sociƫteit Harmonie, terbuka untuk pribumi kalangan atas. Selain dansa-dansi, juga ada hiburan ala Nusantara seperti pementasan wayang kulit, ketoprak, tari tradisional, dan opera

    Balas Hapus

Post Bottom Ad