Asal Usul Batavia dan Jakarta - Sejarah BOGOR

Post Top Ad

Asal Usul Batavia dan Jakarta

Share This
398 tahun yang lalu, tepatnya 4 Maret 1621, para pejabat dari Kongsi Dagang Hindia Timur atau VOC meresmikan nama Batavia untuk benteng yang didirikan oleh Gubernur Jenderal Jan Pietezoon Coen yang terletak tidak jauh dari muara Ciliwung.



Benteng tersebut didirikan oleh JP Coen pada tahun 1617. Di tahun 1618, ketika Inggris datang, Coen pergi ke Banda untuk mencari bantuan, sedangkan anak buahnya berusaha menahan serangan Inggris yang saat itu masih bersekutu dengan Pangeran Jayawikarta.

Dalam "Nusantara: Sejarah Indonesia" karya Bernard H.M Vlekke, benteng buatan Belanda itu selamat bukan lantaran kepahlawanan orang-orang yang mempertahankannya, tetapi karena dilandasi keinginan Inggris dan juga Pangeran Jayawikarta yang masing-masing ingin menguasai benteng tersebut. Sementara Sultan Banten tidak mau membiarkan bentang itu jatuh ke tangan mereka.
Batavia anno 1629


Setelah Belanda menyerah kepada Pangeran Jayawikarta, pasukan Banten kemudian mencegahnya. Wilayah Jayakarta direbut oleh kesultanan Banten dan Pangeran Jayawikarta pun diusir keluar dari daerah tersebut. Inggris mundur lantaran takut terjadi apa-apa dengan pemukiman dan barang-barangnya yang berada di pelabuhan Banten.

“Ini memberikan keberanian baru kepada garnisun Belanda, dan antara jam-jam doa dan malam-malam pesta pora dengan anggur dan wanita mereka bersumpah dengan khidmat akan mempertahankan benteng itu selama Tuhan mengizinkan,” tulis Vlekke.

Setelah mengambil keputusan ini, lanjut Vlekke, para perwira tiba-tiba menemukan bahwa benteng itu tidak punya nama. Dalam pertemuan semua anggota garnisun pada 12 Maret 1619 benteng itu diberi nama Batavia seperti Belanda biasa disebut pada zaman kuno. “Demikianlah, asal-usul kota Batavia jauh dari kejayaan,” tulis Vlekke.



Pada 28 Mei 1619, armada Coen kembali dari Banda. Dua hari kemudian dia memimpin pasukan seribu orang untuk menyerang pasukan Kesultanan Banten. Dengan hanya satu orang gugur, kota Jayakarta ditaklukkan.

“Kemenangan itu ternyata tidak menghapuskan kemarahan Coen, yang timbul saat melihat nama Batavia terpampang di dinding benteng,” tulis Junus Nur-Arif dalam tulisan “Mur Jangkung Pendiri Batavia”, termuat dalam antologi Ketoprak Betawi.

Coen langsung memerintahkan membangun benteng baru yang lebih besar. Karena berasal dari Hoorn, Coen ingin menamai bentengnya Nieuw Hoorn. “Masa itu rasa provinsialisme sedang menjangkiti orang-orang Belanda. Daerah yang mereka rebut atau mereka bangun, dinamai menurut daerah tempat asal mereka,” tulis Junus.

Tapi tetap saja Coen tak mau mengalah dan bertahan dengan pendapatnya. Menurut Coen, daripada menyebut Batavia mending menyebut dengan Jacatra (dari Xacatra, nama yang disebut-sebut dalam dokumen Portugis). Sebagaimana dalam surat dan laporannya, JP Coen kerap menulis in het casteel Jacatra.

Untuk beberapa lama Coen tetap dengan pendiriannya menolak memberi nama Batavia pada benteng yang didirikannya, tapi pada 4 Maret 1621 dewan pimpinan VOC yang disebut Heren Zeventien memaksa JP Coen untuk menggunakan nama tersebut. Alhasil, mau tak mau Coen pun harus menurut titah mereka.

Menurut Adolf Heuken dalam tulisan “Mitos atau Sejarah?” termuat dalam antologi Ketoprak Betawi, sebelum bernama Batavia, ia disebut Sunda Calapa (sampai tahun 1527) lalu Ja(ya)karta (1527-1619). Dokumen tertua yang menyebut nama Sunda Calapa adalah Suma Oriental karya Tome Pires, yang memuat laporan kunjungannya dari tahun 1512-1515. Sedangkan nama Ja(ya)karta (tertulis Xacatara) untuk pertama kalinya disebutkan dalam dokumen tertulis yang berasal dari sekitar tahun 1553, yaitu Decadas da Asia karya Joao de Barros.

Sementara itu, menurut Hussein Djajadiningrat dalam disetasinya, Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, yang dipertahankan di Universitas Leiden tahun 1913, nama Jayakarta yang berarti volbrachtezege (kemenangan yang selesai) diberikan oleh Fatahillah (Faletehan) untuk menggantikan nama Sunda Kalapa, setelah direbut dari Kerajaan Pajajaran pada 1527.

Pendapat berbeda datang dari sejarawan Slamet Muljana yang menyatakan bahwa Jayakarta diambil dari nama adipatinya yang ketiga, Pangeran Jayawikarta.

Pada 1954, Sukanto, guru besar sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, melengkapi tanggal dikuasainya Sunda Kalapa oleh Fatahillah, yaitu 22 Juni 1527. Pemerintah daerah Jakarta Raya menetapkannya sebagai hari jadi kota Jakarta. Nama Jakarta sendiri telah digunakan sejak masa pendudukan Jepang pada 1942 yang mengganti segala hal yang berbau Belanda, termasuk nama Batavia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad