Prasasti Padrao dan runtuhnya Pajajaran - Sejarah BOGOR

Post Top Ad

Prasasti Padrao dan runtuhnya Pajajaran

Share This

Prasasti Padrao adalah sebuah prasasti yang dibangun di era Kerajaan Pajajaran masih berdiri. Prasasti ini berbentuk tugu batu yang menjadi penanda adanya perjanjian antara Kerajaan Sunda dengan Portugis. Ditemukan pada tahun 1918 saat pembangunan pondasi gudang di Batavia, Hindia Belanda. Kini, keberadaan prasasti Padrao dapat dilihat di Museum Nasional Republik Indonesia, sedangkan replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta.




Perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja (1482-1521), yaitu saat kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan semakin terdesak oleh kebangkitan Islam di Pulau Jawa.


Pada tahun 1512, sang Prabu mengirimkan putra mahkotanya, Surawisesa untuk merundingkan kerjasama dengan pihak Portugis. Hal ini ditegaskan dalam Geschiedenis der Sundalanden , yang menyebut ada raja Sunda bernama Samiam datang ke Malaka untuk kerjasama dagang degan Alfonso d'Albouqerque. Pada tahun 1521, utusan Sunda kembali datang untuk yang kedua kalinya, karena tertarik untuk menjalin hubungan dagang dengan Sunda, maka Alfonso pun mengutus iparnya, Henrique de Leme untuk berkunjung ke ibukota Sunda pada tahun 1522.


Teks yang ditulis orang Portugis ini pun mengandung sejumlah persepsi sejarah. Dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, Saleh Danasasmita menjelaskan bahwa berita Portugis ditulis dalam jarak yang cukup jauh dari peristiwa kejadiannya. Dalam berita tersebut dituliskan Ratu Samiam yang datang ke Malaka pada tahun 1512 an 1521 adalah "Red e Zunda" atau Raja Sunda.


Padahal, pada saat itu Samiam atau Surawisesa masih sebagai berkedudukan sebagai putera Mahkota. Dalam kunjungan balasan Portugis ke Pakuan di tahun 1522, Surawisesa telah menggantikan ayahnya menjadi Raja Sunda.


Secara logika, memang tidak mungkin seorang raja mau mengarungi samudera yang penuh marabahaya untuk sekedar misi dagang dan kerjasama. Jadi sudah jelas sekali bahwa yang datang ke Malaka adalah Samiam atau Surawisesa sebagai utusan sang ayah, Sri Baduga Maharaja.


Kunjungan Portugis sampai pada 21 Agustus 1522, dan menghasilkan perjanjian yang diabadikan dalam sebuah tugu prasasti, Padrao. Isi perjanjian bersifat internasional, dengan naskah dibuat dua rangkap, yang masing-masing dipegang oleh kedua pihak yaitu Sunda dan Portugis.


Perjanjian tersebut antara lain berisi:
  1. Dalam jangka waktu satu tahun pihak Sunda akan memberikan 1.000 karung lada untuk ditukarkan dengan barang-barang kebutuhan Sunda oleh Portugis.
  2. Portugis diizinkan membangun benteng di Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa).
  3. Sunda dan Portugis akan bersama-sama menghadapi serbuan Demak yang mulai bergerak ke barat.





Prasasti Padrao



Adapun penandatangan dari pihak Kerajaan Sunda dilakukan oleh Sang Raja sendiri yaitu Sanghyang atau Surawisesa, dengan tiga pembantu utamanya yang terdir dari Mantri Dalem, Tumenggung Adipati, dan Syahbandar. Sementara dari pihak Portugis diwakili oleh Fernando de Almeida, Francisco Anes, Manuel Mendes, Joao Coutinho, Gil Barboza, Francicso Diaz, dan lain-lain.



Tanda tangan prabu siliwangi
Surat perjanjian yang berisikan tanda tangan Prabu Surawisesa dan pihak Portugis



Naskah Carita Parahiyangan menyebutkan bahwa Surawisesa terlibat dalam 15 kali peperangan dalam rangka mempertahankan kerajaan Sunda dari serbuah Demak dan Cirebon. Konflik ini terjadi dalam kurun waktu 14 tahun dan dalam naskah itu pun menyebutkan beberapa nama tempat seperti Wahanten Girang, Ancol Kiyi, dan Kalapa.


Dalam buku Menemukan Kerajaan Sunda, Saleh Danasasmita menyebut perjanjian yang terjadi antara Sunda dan Portugis membuat cemas Trenggana, Sultan Demak III. Dalam anggapannya, Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai sudah menguasai Selat Malaka yang menjadi pintu masuk ke wilayah Nusantara di sebelah utara. Kekhawatiran Trenggana sangat beralasan, karena jika Portugis menguasai Selat Sunda karena perjanjian tersebut, maka jalur perdagangan Demak akan terancam, apalagi jalur ini sudah menjadi urat nadi kehidupan ekonomi mereka.


Untuk mengatasinya, Trenggana mengirimkan armada yang dipimpin senapati Demak, Fadillah Khan. Sejarawan Portugis menyebutnya sebagai Faletehan, sedangkan Tome Pinto menyebutnya Tagaril, yang mungkin merupakan plesetan dari Ki Fadil yang merupakan julukan Fadillah Khan sehari-hari.


Armada gabungan Demak dan Cirebon pimpinan Fadillah Khan berkisar 1.967 orang. Target utama mereka adalah Banten yang menjadi pintu masuk Selat Sunda. Satu tahun kemudian, dibantu oleh 1.452 pasukan, Fadillah Khan menyerang Pelabuhan Sunda, Kalapa. Dalam peristiwa itu, para pimpinan yang bertugas di Kalapa dan keluarganya tewas dibantai, begitu juga para menteri yang bertugas di Pelabuhan dan para pekerjanya. Peristiwa penyerbuan pelabuhan Sunda inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Jakarta setiap tanggal 22 Juni. Setelah peristiwa banjir darah itu, pelabuhan Kelapa berhasil dikuasai. Pasukan bantuan dari Kerajaan Sunda pun dipukul mundur.


Sementara itu, pihak Portugis yang sudah terikat perjanjian dengan Kerajaan Sunda mencoba mengirimkan bantuan. Tapi terlambat, karena Fransisce de Sa yang selama ini bertugas mendirikan benteng di Kalapa keburu diangkat menjadi Gubernur Goa di India, sehingga pendirian benteng menjadi terhambat. Di India, enam buah kapal sudah disiapkan untuk membantu Sunda, tapi kapal-kapal tersebut kemudian ditinggalkan karena diterpa badai dahsyat di Teluk Benggala.


Untuk membantu Sunda maka disiapkan kapal dari Malaka, namun karena Banten saat itu sudah dikuasai oleh Hasanudin (Sultan Banten), maka Portugis langsung menuju ke Pelabuhan Kalapa, tapi sialnya, karena terlalu dekat dengan pinggir pantai, kapal Portugis langsung remuk oleh armada Fadillah Khan.


Serangan dari timur dilakukan pasukan Cirebon yang mencoba merangsek ke selatan. Serbuan Cirebon berhasil menduduki Galuh, dan dua tahun kemudian Kerajaan Talaga yang menjadi benteng pertahanan terakhir kerajaan Galuh berhasil direbut.


Walaupun sebelah timur Citarum telah sepenuhnya dikuasai Cirebon, tapi mereka masih belum bisa menembus Pakuan Pajajaran. Sementara di Pakuan, Surawisesa berusaha mati-matian mempertahankan wilayah Sunda terakhir dari gempuran musuh.


Pada 1531, Surawisesa dan Cirebon sepakat untuk berdamai. Ketenangan ini digunakan Surawisesa untuk mengurusi masalah di dalam negerinya. Beberapa pemberontakan berhasil dipadamkan. Dalam pada itu, ia terkenang akan kecemerlangan sang ayah, Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.


Pada tahun 1533, bertepatan dengan 12 tahun kematian ayahnya. Surawisesa membuat sakakala yang berupa tanda peringatan bagi mendiang Sri Baduga dengan menyebut karya-karya sang ayah selama memimpin di Kerajaan Sunda. Sakakala itu dikenal dengan prasasti batu tulis.


Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (untuk) Prabu Ratu almarhum, dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan gunung-gunungan, mengeraskan (jalan) dengan batu, membuat hutan samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Maha Wijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (ditulis) Dalam tahun Saka lima-pandawa-pangasuh-bumi.” (Menemukan Kerajaan Sunda, hlm 47)


Mulai runtuhnya kekuatan Sunda baru dimulai setelah Rajanya yang baru Sang Ratudewata (1535-1643) bertahta di Pajajaran. Peperangan demi peperangan terus menghantui Sunda. Kekuatan Islam yang semakin berkembang besar tidak dapat diimbangi leh pasukan Pajajaran yang secara umum mulai melemah. Pada pemerintahan Ratudewata, banyak wilayah Pajajaran dijatuhkan, termasuk Sumedanga dan Ciranjang. Tak sedikit pula pemimpin daerah yang gugur. Ibukota Pakuan pun terancam hancur terlebih lagi setelah ditinggalkan oleh sang Raja dan para pejabatnya.


Di masa pemerintahan Prabu Raga Mulya (Suryakancana), Kerajaan Sunda sudah tidak lagi dapat mempertahankan kedudukannya. Pasukan Islam telah mendominasi jalannya pertempuran dan pihak Sunda pun tidak memiliki pasukan yang cukup kuat untuk melakukan perlawanan.


Bersamaan dengan jatuhnya berbagai wilayah kekuasaan, tamat pula riwayat Kerajaan Sunda di tanah Jawa Barat, bertepatan dengan tahun 1579 Masehi.


Baca Tulisan bersambung mengenai sejarah runtuhnya Pajajaran dalam:


Hari-hari terakhir di Pakuan Pajajaran Bag-1
Hari-hari terakhir di Pakuan Pajajaran Bag-2
Hari-hari terakhir di Pakuan Pajajaran Bag-3
Hari-hari terakhir di Pakuan Pajajaran Bag-4

Hari-hari terakhir di Pakuan Pajajaran (TAMAT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad