Legenda Nyi Blorong - Sejarah BOGOR

Post Top Ad

Sejarah Bogor - Indonesia adalah negeri yang kaya akan kisah-kisah legenda dan mitos yang masih beredar di masyarakat, salah satunya cerita mengenai Nyi Blorong . Kisah tentang wanita berparas ayu namun bertubuh ular ini bahkan sudah sering dibuat filmnya.


Kisah mengenai Nyi Blorong tetap ada dalam tradisi tutur di Indonesia karena sering disebarluaskan melalui beragam media, mulai dari sandiwara radio hingga film-film layar lebar. Nyi Blorong kerap digambatkn sebagai sosok perempuan cantik yang bisa berganti rupa menjadi ular bersisik emas.



Selain dikenal sebagai panglima dalam dunia mahluk halus, Nyi Blorong juga dipercaya dapat memberikan kekayaan secara instan (pesugihan) bagi mereka yang bersekutu dengannya dengan syarat bersedia berhubungan badan setiap malam Jum'at Kliwon dan menyediakan tumbal. Setelah bercinta sisik yang berada di tubuh Nyi Blorong akan berjatuhan dan berubah menjadi kepingan emas dan permata.

Peneliti Belanda, H.A van Hien sudah mencatat keberadaan cerita mengenai Nyi Blorong sejak awal abad ke-19. Dalam De Javaansche geestenwereld, en de betrekking, die tussen de geesten en de zinnelijk wereld, verduidelijkt door petangan′s of tellingen bij de Javanen in gebruik t erbitan tahun 1896, ia menulis: "Segala jenis kekayaan akan diberikan kepada si pemanggil. Hal itu bisa berjangka waktu selama tujuh tahun, namun bisa diperpanjang hingga dua kali lagi. Tapi selama itu pula harus ada yang dikorbankan, dan nantinya si pemanggil itu yang akan menjadi korban terakhir dan mengisi istana Nyai Blorong,"

Praktek pesugihan untuk meraih kekayaan secara instan sudah berlangsung cukup lama. J. Kremeer seorang peneliti budaya berkebangsaan Belanda dalam artikelnya yang berjudul Blorong of de geldgodin der Javanen tahun 1904 bercerita mengenai seorang petani miskin dari desa Soegihsaras, distrik Sidokantoen yang melakukan pesugihan hanya lantaran dirinya terlalu lelah hidup miskin, bahkan paling miskin dibandingkan lima saudarnya yang lain.

Dia pun mengunjungi seorang tua yang dipanggil Embah. Si Embah ini bersedia membantu asalkan si petani mau menerima syarat untuk menyediakan tumbal. Si petani pun menyanggupinya lalu diminta untuk menyedaiakan satu kamar khusus yang lengkap dengan pembaringan yang ditutup kelambu. Setiap Jumat legi, dia juga diminta menyiapkan pelita di atas kasur lengkap dengan dupa dan bunga tujuh rupa. Pada tengah malam, petani itu mendengar suara seperti angin puyuh. Lalu setelah suasana tenang, Blorong muncul di atas peraduan. Kakinya tidak terlihat yang tampak hanya ekor ular yang seluruh kulitnya tertutup oleh sisik emas.

Dalam Serat Jayengbaya , Raden Ngabehi Ranggawarsito pun pernah mengecam praktik pesugihan tersebut. Serat yang ditulisnya sewaktu menjabat sebagai mantri carik atau juru tulis di kadipaten Anom bergelar Raden Ngabehi Sarataka sekitar 1822-1830, Ranggawarsito memakai kata "Nyi Blorong" untuk mengolok-oloj situasi masyarakat Jawa saat itu. Kalau diterjemahkan kira-kira begini artinya: "Yang sudah-sudah cepat kaya, sehingga seperti Nyai Blorong belaka, tidak usah ke Gunung Cereme, asal suka berbuat baik kepada tetangga, melimpahkan belas kasih, kiranya aku tidak akan ketahuan mata-mata"

Asal-muasal Nyi Blorong

Menurut beberapa sumber, Nyi Blorong adalah seorang putri dari penguasa laut selatan, Ratu Kidul. Kisah ini juga tersurat dalam Babad Prambanan yang disalin tahun 1927. Babad ini pun memiliki versi lain yang lebih tua umurnya yang disalin oleh Wirsungin di wilayah Mangkunegaran pada 1885 atas prakarsa B.R.Ng. Keduanya menceritakan mengenai sejarah berdirinya Candi Prambanan dan kisah tentang Ajisaka. Yang menarik di sini adalah mitos Aji Saka juga ternyata tersurat dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa , sebuah kumpulan cerita wayang dan dongeng yang digubah dalam tembang macapat sekira abad ke-16.

Alkisah, karena telah membunuh seekor naga yang sedang bertama di sebuah goa, Prabu Aji Saka dari Medhangkamulan memiliki seorang anak yang berwujud naga yang diberinama Naga Nginglung. Walaupun malu, Aji Saka akhirnya mau mengakuinya sebagai anak asalkan Naga Nginglung bisa mengalahkan musuhnya, Dewatacengkar yang telah menjelma menjadi buaya putih dan bersemayam di pantai selatan.

Di lain tempat, raja lelembut penguasa laut selatan yang bernama Nginangin tengah menggelar rapat untuk membahas kekacauan yang timbul akibat ulah Dewatacengkar. Ia pun membuat sayembara bahwa barangsiapa yang mampu mengalahkan sang buaya putih, maka ia akan dinikahkan dengan putrinya, Rara Blorong yang memiliki raga manusia tetapi bersisik. Tidak lama berselang, buaya putih itu sudah dikalahkan oleh Naga Nginglung, maka pernikahan pun segera digelar.

Dalam tulisan A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul yang dimuat di Asian Folklore Studies Vol.56/1997, Robert Wessing menuturkan bahwa ular adalah mahluk favorit yang kerap ditemukan dalam beberapa cerita rakyat yang berkembang di Asia Tenggara, Tiongkok, dan India. Dalam banyak cerita tersebut, ulat atau naga sering dihubung-hubungkan dengan penguasa, panen, dan kesuburan.

Cerita pewayangan di daerah Jawa pun menyinggung keberadaan mahluk tersebut, antara lain sosok Anantaboga yang digambarkan sebagai dewa dengan wujud naga. Anantaboga berasal dari kata "ananta" dan "boga" yang memiliki arti "tiada berkesudahan" dan "bahan untuk hidup". Jadi Anantaboga dianggap melambangkan kemakmuran atau kebahagiaan.

Bagi masyarakat pedalaman Jawa yang agraris, Nyi Blorong memiliki makna yang cukup penting. Perwujudannya dalam bentuk ulat dianggap sebagai penjaga lahan pertanian dari serangan hama, khususnya tikus. Sehingga untuknya dilakukanlah sedekah bumi.

Seiring perjalanan waktu, khususnya karena sifat cerita rakyat yang terus mengalami perkembangan, sosok Nyi Blorong kemudian lebih lekat dengan pesugihan.


  • Dikutip dari berbagai sumber


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad