Sejarah dan Asal Usul Rumah Sakit Jiwa di Bogor - Sejarah BOGOR

Post Top Ad

Sejarah dan Asal Usul Rumah Sakit Jiwa di Bogor

Share This
Sejarah dan Asal Usul Rumah Sakit Jiwa di Bogor - Sebelum 1773, perawatan orang-orang gangguan jiwa dilakukan dengan cara menyiksa si pasien sampai kemudian Phillipe Pinel mulai mengenalkan metode pendekatan dengan terapi moral di rumah-rumah sakit jiwa Eropa. Metode pendekatan ala Pinel ini yang kemudian diadopsi oleh banyak negara pada abad 19 dan 20.



Di Batavia, penerapan terapi ala Pinel ini mulai dilakukan pada pasien gangguan jiwa sejak 1946. Pada saat itu, pasien gangguan jiwa sebagian besar ditampung di sebuah rumah sakit Cina yang sudah berdiri sejak 1645 atas biaya pajak-pajak orang Tionghoa. Pasiennya terdiri dari beragam etnis. Akan tetapi, karena kapasitas rumah sakit yang sudah tidak mencukupi, maka pemerintah kota Batavia mendirikan penampungan yang bernama Panti Asuhan Fakir Miskin pada 1662. Di penampungan ini pasien gangguan mental ditempatkan bersama-sama dengan orang-orang miskin dan jompo yang terlantar.

Seiring berjalannya waktu, kapasitas rumah penampungan itu pun tidak lagi mencukupi untuk menerima pasien-pasien baru, sehingga pemerintah kota kemudian merujuk para pasien ke rumah sakit tentara. Namun berbeda penanganan dengan di rumah penampungan, di rumah sakit tentara para pasien ditempatkan dalam ruangan yang lebih mirip penjara, lengkap dengan jeruji besinya. Di tempat ini, pasien gangguan mental dianggap berbahaya sehingga perlu ditangani dengan sangat serius.

Jumla pasien gangguan jiwa terus menerus bertambah, sehingga militer ikut dilibatkan dalam penanganannya. Kondisi ini terus berlangsung sampai pertengahan abad 19. Hingga kemudian muncullah desakan untuk memperbaik penanganan pasien gangguan jiwa tersebut sesuai dengan perkembangan ilmu kejiwaan atau ilmu kesehatan mental.

Untuk mengetahui dengan pastinya berapa jumlah penderita gangguan mental di Hindia Belanda, pemerintah menggelar sensus kesehatan mental yang pertama kali dilakukan pada 1862. Untuk suksesnya sensus ini, pemerintah menurunkan DR G.Wassing, Kepala medis Hindia Belanda. Hasil sensus mencatat bahwa ada 586 penduduk di Jawa yang dikategorikan "Gila dan Berbahaya", dengan 252 orang di antaranya ditampung di berbagai panti yang tersebar di setiap kota.

Berdasarkan hasil sensus tersebut, Wassink mengusulkan pembangunan rumah sakit khusus untuk bangsa Eropa yang masuk kategori "Gila dan berbahaya", adapun untuk mereka yang tidak masuk kategori tersebut tidak perlu dipisahkan dari keluarganya. Pemerintah Hindia Belanda menerima usulan tersebut lalu mengirimkan dua orang dokternya, yaitu F.H.Bauer dan W.M.Smit untuk melakukan observasi standar perawatan rumah sakit jiwa di beberapa negara Eropa. Pada bulan September 1865, keduanya mengajukan surat rekomendasi pada Inspektur Asylum di Belanda dengan tembusan pada sang Ratu. Permohonan keduanya kemudian dikabulkan pada Desember 1865.

Tahun 1868, Bauer dan Smit datang berkunjung ke Batavia untuk mencari lokasi yang tepat untuk dijadikan rumah sakit mental terbesar di Hindia Belanda. Adapun kriteria lokasi yang diinginkan adalah berada tidak jauh dari Batavia, dekat Jalan Raya Pos,dan memiliki lokasi yang tenang sesuai prinsip perawatan mental. Pada akhirnya, Buitenzorg (nama kota Bogor temp dulu) pun dipilih untuk dijadikan lokasi pembangunan Rumah Sakit Mental tersebut.

Pada 1882, pembangunan rumah sakit mental di Bogor selesai dilakukan dan sebagian besar pasien adalah orang-orang pindahan dari rumah sakit tentara dan Cina.

Pada saat itu, Rumah sakit mental Buitenzorg menampung sekitar 35 orang pasien yang berasal dari kalangan orang-orang Eropa, lengkap dengan 95 staff yang terdiri dari orang Pribumi dan keturunan. Salah seorang dokter yang bernama Dr.Sumeru menjadi satu-satunya dokter pribumi yang bekerja di rumah sakit ini.

Berbeda dengan rumah-rumah sakit yang ada di Belanda saat itu, rumah sakit mental Bogor tidak berafiliasi dengan militer, juga tidak membedakan latar belakang para pasiennya. Terapi yang dilakukan kepada para pasiennya adalah sama, dan tidak dibeda-bedakan.

Rumah Sakit Jiwa Bogor di zaman Jepang


Ketika Hindia Belanda diduduki oleh Jepang pada 1942, mereka menguasai beberapa rumah sakit dan bangunan vital, termasuk di antaranya adalah Rumah Sakit Mental yang ada di Grogol, Batavia. Di sini, para pekerja dengan terpaksa harus mengabdi para militer Jepang.

Karena mengkhawatirkan kondisi dan keselamatan para pasiennya, dokter dibantu para pekerja di rumah sakit grogol ini kemudian memindahkan para pasien ke Rumah Sakit Mental yang ada di Bogor. Peristiwa ini disaksikan oleh seorang dokter asal Sumatra, Yunus yang kemudian dituasi mengurus para pasien sampai ke Bogor.

Namun setibanya di Bogor, mereka tidak bisa langsung menarik nafas lega, karena tentara Jepang telah bergerak hingga Bogor. Para dokter dan perawat sangat khawatir kalau Jepang masuk ke Bogor lalu menguasai rumah sakit ini, lalu menjadikan para pasien sebagai tenaga kerja paksa.

Hanya dalam hitungan hari, tentara Jepang telah berdatangan ke rumah sakit ini, dan segera menduduki dan menjadikannya sebagai tempat penampungan tentara, padahal saat itu di rumah sakit ini terdapat sekitar 2000 pasien. Jumlah ini tentu jauh melampau kapasitasnya, belum lagi ditambah tentara Jepang yang menginap dan menggunakan ruangan pasien sebagai barak.

Di luar perkiraan para dokter dan perawat, Jepang tidak memanfaatkan pasien tetapi justru mengabaikan dan menelantarkan mereka karena tidak dibutuhkan. Perlakuan tidak layak itu menjadikan banyak pasien terlantar yang sakit atau bahkan mati karena kelaparan.


Setelah kekalahan Jepang, dari ribuan pasien yang ada di Rumah Sakit Mental Bogor, hanya tersisa 500 pasien saja yang masih hidup dan bisa menikmati saat - saat kemerdekaan. Adapun beberapa bagian dari rumah sakit ini mengalami kerusakan yang cukup parah, sementara dana pemeliharaan yang didapatkan sangatlah kecil.

Pemerintah Republik saat itu lebih memfokuskan pada Revolusi Fisik dari pada pembangunan, baru setelah memasuki era 1950-an, pemerintah mulai memperbaiki beberapa bangunan yang sudah rusak termasuk di antaranya adalah Rumah Sakit Mental Bogor yang berubah nama menjadi Rumah Sakit Jiwa Bogor. Lalu sejak tahun 2002, Rumah Sakit Jiwa Bogor berubah nama menjadi Rumah Sakit Dokter Marzoeki Mahdi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad