Kesaksian orang Portugis di Tatar Sunda - Sejarah BOGOR

Post Top Ad

Kesaksian orang Portugis di Tatar Sunda

Share This

Kapal berbendera Portugis yang membawa Tome Pires akhirnya sampai juga di Jawa, sebuah negeri dengan kebudayaan yang sangat jauh berbeda dengan Malaka yang saat itu merupakan basis Portugis di kawasan Asia. Kondisi politik dan budaya yang berbeda inipun menarik perhatiannya, khususnya satu kerajaan besar yang menguasai tanah Jawa di bagian barat.




Wikipedia menulis, Tome Pires (1468-1540) adalah seorang penulis dan bendahara Portugis. Salah satu yang menjadi maha karyanya adalah Suma Oriental (Dunia Timur) yang menceritakan perjalanan para pedagang Portugis sampai kemudian menguasai anak benua India dan Kesultanan Malaka pada 1511. Hasil tulisannya ini pula yang telah memberikan banyak informasi berharga mengenai keadaan di Nusantara sekitar abad ke-16. Hingga kematiannya dalam tahanan di Tiongkok, Suma Oriental telah menjadi referensi bagi banyak penjelajah-penjelajah setelahnya.


Keberadaan kerajaan Sunda telah diketahui oleh Pires sejak pertama kali kakinya menginjak tanah Jawa. Ia mendapatkan informasi tersebut dari para para pekerja di Pelabuhan. Berdasarkan info yang Ia dapatkan, Pires lalu menuliskan dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental, tentang gambaran Kerajaan Sunda.


Dalam tulisannya itu, Pires juga mengungkapkan pandangan orang-orang mengenai kekuasaan Kerajaan Sunda.


“Sebagian orang menegaskan bahwa Kerajaan Sunda menguasai setengah Pulau Jawa. Sebagian lainnya, yakni orang-orang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, meyakini bahwa Kerajaan Sunda menduduki sepertiga atau seperdelapan bagian pulau,” tulisnya.


Pires menjadi orang Portugis yang menjadi saksi akan kekuasaan Raja Sunda di negeri yang didatanginya itu. Tapi sayang, apa yang ia lihat itu adalah episode terakhir dari Kerajaan Sunda di Jawa Barat karena setelah itu, kerajaan ini ditaklukkan oleh kekuatan pasukan Islam yang menguasai tanah Jawa.


Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilih II mencatat bahwa Kerajaan Sunda yang disaksikan oleh Pires ini adalah Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Menurut berita di Prasasti Batutulis, kerajaan ini semula berpusat di Kawali yang kemudian dipindahkan ke Pakuan (Bogor) karena keadaan tertentu. Raja yang memerintah saat itu adalah Prabu Guru Dewataprana.


Dalam penelitiannya tentang Nusantara, John Crawfurd seorang adminstrator Inggris pada pertengahan abad ke-19, mencatat dalam A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries, bahwa keberadaan kerajaan Pajajaran ini didasarkan para penemuan prasasati dan sisa-sisa bekas istana (baca lagi: Lokasi Istana Pakuan) . Dalam bukunya itu, ia seakan-akan memperjelas informasi yang diceritakan oleh Pires.


"Pajajaran adalah nama sebuah kerajaan kuno di Jawa, ibu kotanya terletak di Bogor, yang berada di wilayah Sunda, 40 mil di timur Batavia (Jakarta). Dugaan ini muncul akibat ditemukannya fondasi istana dan batu prasasti," tulis Crawfurd.


Terkait hal tersebut, sejarawan Nugroho Notosusanto juga membenarkan penelitian Crawfurd tersebut berdasarkan sumber-sumber lokal, seperti dalam Carita Parahyangan: "Adanya sebuah bangunan induk, di samping bangunan-bangunan lain yang ada di kompleks tersebut. Rupanya di bangunan induk itulah sang raja bersemayam, sementara di bangunan-bangunan lainnya tinggal para pejabat kerajaan serta kerabat dekat keraton yang lain,"


Di salah satu tempat yang bernama Dayo atau dayeuh / kota, sang raja menghabiskan sebagian besar waktunya .


Sang Raja menghabiskan sebagian besar waktunya di sebuah tempat yang bernama Dayo atau dayeuh / kota. Kota yang cukup besar itu penuh dengan rumah-rumah yang rata-rata terbuat dari kayu dan beratapkan daun kelapa. Kondisinya bisa dibilang lebih baik jika dibandingkan dengan daerah pemukiman lain yang ada di sekitarnya. Jika melakukan perjalanan dari pelabuhan utama Sunda Kelapa ke Dayo, maka jarak yang ditempuh adalah kurang lebih dua hari.


Sang Raja Sunda, menurut Pires adalah orang yang sangat taat beribadah. Ia dikelilingi oleh ahli-ahli agama. Masyarakat Pakuan pun dikenal sebagai ksatria dan pelaut yang unggul. Bahkan bisa dikatakan lebih baik dari pelaut dan ksatria dari Jawa bagian timur. Di beberapa tempat, penduduk setempat lebih banyak menghabiskan waktu dengan berternak dan bercocok tanam.



Perawakan orang-orang Sunda pada saat itu juga diungkap oleh Pires, “Pria-pria Sunda berwajah rupawan, berkulit gelap dan berperawakan tegap,”.


Hasil panen yang berlimpah menjadikan kerajaan Pajajaran setiap tahunnya mampu menjual beras sebanyak ribuan ton, juga menghasilkan sayur-mayur yang tak terhitung jumlahnya. Termasuk juga menjual aneka hewan ternak yang tidak bisa dipastikan jumlahnya. Selain bahan makanan, Pajajaran juga memperjualbelikan para budak yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.


Bukti kebesaran dan kejayaan Kerajaan Pajajaran ini menurut Pires bisa dilihat dari kepemilikan raja atas 4000 ekor kuda, dan 40 ekor gajah yang dipelihara. Raja menggunakan gajah-gajah itu untuk acara-acara kerajaan, dan tidak digunakannya untuk berperang.


Selama berada di Pajajaran, Pires tidak melihat adanya konflik di masyarakat. Dalam pandangannya, sang raja memerintah dengan sangat adil dan bijaksana, sehingga keadaan rakyatnya selalu dalam kondisi baik dan sejahtera.


Untuk bidang perekonomian, kerajaan Pajajaran juga telah melakukan perdagangan secara global dengan negeri-negeri di sekitarnya. Bahkan produk komoditi dari kerajaan ini seperti kain khas Sunda, rempah-rempah, dsb sampai juga ke Malaka. Hubungan baik pun terjalin antara orang-orang Sunda dengan para pedagang yang berasal dari Arab dan Tiongkok.



“Mereka sudah terbiasa dengan perdagangan. Orang-orang Sunda sering pergi ke Malaka untuk berdagang. Mereka akan menaiki kapal-kapal kargo bermuatan 150 ton. Sunda memiliki lebih dari 6 jung dan lanchara-lanchara khas Sunda yang memiliki tiang kapal berbentuk bangu dan anak tangga di antara tiap kapal sehingga mudah untuk dikemudikan,” tulis Pires.


Namun gambaran mengenai kebesaran dan kejayaan Kerajaan Pajajaran yang diungkapkan Pires hanya terjadi selama ia berada di sana saja. Setelah Pires meninggalkan negeri Sunda ini, konflik mulai muncul antara Sunda yang masih memegang teguh ajaran Hindu-Budha dengan Islam.


Pada 1579, kerajaan Sunda Pajajaran sirna ing bhumi setelah berhasil diduduki oleh pasukan Islam. Perubahan pemerintahan inilah yang kemudian mempengaruhi kebudayaan dan kondisi masyarakat di negeri Pajajaran ini dikemudian hari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad