Sejarah Bogor pada tahun 1945 - Sejarah BOGOR

Post Top Ad

Sejarah Bogor pada tahun 1945

Share This
Sejarah Bogor tahun 1945 - Setelah Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia masih belum terbebas dari penjajahan, walaupun saat itu Jepang sudah tunduk kalah dari Sekutu. Kedatangan tentara Belanda yang dibonceng pihak Sekutu dengan dalih mengamankan situasi, menjadi titik awal perjuangan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan.


Menyerahnya Jepang kepada Sekutu menjadikan kekosongan pemerintahan di RI. Kekosongan kekuasaan (Vacum of Power) yang berlangsung selama empat bulan setelah Indonesia merdeka itu digambarkan sebagai masa yang penuh kekacauan dan sarat akan aksi kejahatan seperti perampokan, penjarahan, bahkan pembunuhan.

Periode ini pun kemudian dikenal juga sebagai Revolusi Sosial atau Masa Bersiap, apalagi setelah runtuhnya pemerintahan Jepang, pemerintahan Republlik Indonesia yang baru beberapa hari memerdekaan diri masih cukup lemah.

Dalam sebuah wawancara dengan wartawan Tempo, penulis buku "Soekarno, 1901-1950", Dr Lambert Giebels menilai bahwa revolusi Indonesia tidak lepas dari berbagai anarkisme. Di masa ini, sering terjadi aksi penjarahan, perkosaan, dan serangkaian tindak kriminal lainnya.

Adapun van Doorn (1983) menyebutkan bahwa masa bersiap ini ditafsirkan sebagai sebuah proses perubahan yang revolusioner, dengan terjadinya gerakan sosial dengan kekerasan / bersenjata yang disertai sentimen nasional terhadap penguasa kolonial yang berniat menjajah kembali.

Periode kekosongan pemerintahan yang berlangsung sejak 1 September 1945 s/d 1 Januari 1946 itu membangkitkan semangat rakyat untuk menentang kembalinya kolonialisme Belanda. Pekik perjuangan yang terdengar pada saat itu adalah "Bersiap!". Dengan bersenjatakan bambu runcing, golok, dan senjata api hasil rampasan Jepang mereka bersatu menyerang pos-pos tentara NICA.

Awal kekacauan di Bogor

Awal kekacauan di Bogor terjadi pada Oktober 1945, pada saat itu banyak kasus penculikan orang-orang Eropa yang dilakukan para republikein.

Walaupun otoritas RI di tahun itu sudah berdiri di Bogor, namun mereka tidak bisa menguasai situasi dan kondisi yang sebenarnya. Pengawasan untuk mencegah aksi kekerasan masih kurang, apalagi untuk mencegah kemarahan para pendukung RI yang melampiaskan orang-orang Eropa dan Indo secara berlebihan. Dua kamp intermiran bahkan didirikan di Depok dan Bogor.

Pada 10-11 Oktober 1945, ada sekitar 4000 orang datang ke Depok dengan menumpang kereta api, truk, bahkan gerobak sapi. Intelijen Belanda yang mendapati informasi tersebut kemudian melaporkan hal tersebut dengan sepengetahuan aparatur pemerintah dan pihak kepolisian RI.

Di bawah suasana yang terlampau mencekam itu, orang-orang Belanda yang bermukim di Depok meminta bantuan kepada pihah Sekutu yang ada di Batavia (Jakarta). Namun pihak Sekutu menolaknya dengn alasan tidak ada perintah resmi, alhasil aksi penjarahan dan pengusiran pun terjadi di beberapa tempat di Depok. Sasaran aksi kemarahan mereka adalah orang-orang Eropa dan keturunannya (Indo).

Pada peristiwa yang dikenal dengan sebutan 'Gedoran Depok" itu, sedikitnya 33 orang Belanda tewas, sementara di tempat lain laki-laki dewasa Depok dipisahkan lalu dibawa ke Bogor, sehingga hanya menyisakan kaum wanita dan anak-anak saja yang jumlahnya sekitar 1.050 jiwa, mereka dikumpulkan dalam sebuah lumbung sempit.

16 Oktober 1945, Johan Fabricius seorang wartawan yang sedang menuju ke arah Bogor dari Jakarta dengan sepeda motornya merasa ada sesuatu yang tengah terjadi di Depok. Ia pun melaporkan penemuannya itu pada pihak Sekutu yang ada di Bogor, dan sore harinya satu peleton Gurkha pimpinan Letnan De Winter dikirim ke Depok.

Aksi kekerasan yang terjadi selama masa tersebut tidak hanya ditujukan pada pihak-pihak yang dituduh sebagai kaki tangan Belanda saja, tapi bisa juga terjadi pada orang-orang republik. Bahkan tak sedikit pula para perampok dan kriminal yang memanfaatkan situasi tak menentu ini untuk kepentingan pribadi maupun komplotannya.

Salah satu laporan yang diterima oleh Kepala Staff Resimen Bogor/Divisi II TKR, Mayor A.E.Kawilarang menyebutkan bahwa di Cisarua ada dua orang wanita Menado bersama anak-anaknya yang salah satunya masih bayi meminta bantuan perlindungan karena merasa terancam.

Ia sempat menemui kedua wanita tersebut, dan berjanji akan membawa keduanya ke Bogor untuk dikirim ke daerah yang aman. Tapi ketika para tentara hendak menjemputnya pada esok hari, rumah kedua wanita itu telah dirampok sedangkan kedua orang wanita dan anak-anaknya telah tewas dengan penuh luka bacokan di sekujur tubuhnya.

Pada 11-12 Oktober malam, orang-orang Belanda dan keturunannya (Indo) yang ada di Bogor dipaksa bangun dari tidur di bawah todongan senjata. Para pelakunya diduga adalah anggota BKR dan Pelopor yang lalu menempatkan para tawanannya di penjara tua yang terletak di daerah Paledang.

Penjara Paledang pada saat itu hanya memiliki kapasitas 300 orang saja, tapi pada periode tersebut ada lebih dari 1.200 tawanan yang berasal dari Bogor dan Depok. Sehingga ruangan yang semestinya diisi oleh enam orang itu dipaksakan untuk ditempati 25 orang dalam satu sel. Adapun ruangan lain yang dapat menampung maksimal 25 orang ditempati oleh sekitar 140 hingga 160 orang, sisanya dibiarkan di luar ruangan dengan sedikit perlindungan dari panas dan hujan.

Di penghujung Oktober 1945, pihak Inggris melaukan inspeksi ke Paledang dan menawarkan kerjasama dengan kepala penjara untuk memindahkan para tawanan itu ke kamp pengungsian. Dalam waktu yang singkat, seluruh tawanan telah dipindahkan ke Kamp-kamp yang ada di Bogor, di antaranya adalah Kedoenghalang yang menjadi kamp utama, kamp Ursulinenklooster yang pernah digunakan Jepang sebagai kantor Shucho-kan difungsikan sebagai kamp khusus kaum perempuan, Kamp 14 Bataljon yang ada di Pabaton, serta kamp di Kotaparis.


Daftar kamp-kamp intermiran yang ada di Kota Bogor




Situasi di Bogor kian mencekam, apalagi muncul isu akan terjadinya pembantaian terhadap orang-orang Belanda dan keturunannya. Akibat isu hoax tersebut, banyak orang-orang Belanda yang sangat ketakutan. Tapi ternyata, kemarahan para pemuda itu dilampiaskan kepada tentara Jepang.

Di Pondokgedeh, Cigombong tidak jauh dari Ciawi terjadi peristiwa penyerbuan pemuda Republik terhadap kamp tentara Jepang. Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, ditemukan kuburan masal yang berisikan mayat Letkol Kawagishi dan 41 orang tentara Jepang tidak jauh dari lokasi tersebut.

Tak hanya itu saja, para pemuda juga tak segan-segan menghukum mereka yang nyata-nyata mengganggu keamanan di Bogor, salah satunya peristiwa perburuan Pak Oente yang dikenal sering berbuat onar di Landhuis Dramaga. Pada 10 November 1945, Pak Oente berhasil diciduk di daerah Jampang lalu dibawa ke Bogor menggunakan truk. Sesampainya di Bogor, ia diseret ke tengah sebuah kebun dan digantung di atas sebuah paal, tidak jauh dari tubuhnya ditempel kertas bertuliskan "INI KAKI TANGAN NICA!"

Munculnya aksi kekerasan dan gangguan keamanan selama bulan Oktober hingga November meningkatkan ketegangan di Bogor. Bahkan sering terjadi insiden antara pihak Republik dengan Sekutu, terutama dengan pasukan Gurkha dan NICA.

Ultimatum sepihak dilayangkan Inggris pada 8 Desember1945 yang isinya antara lain memerintahkan para pemuda pimpinan A.K.Yusuf yang saat itu menduduki Istana Bogor untuk segera hengkang dan menyerahkan Istana kepada pihak Sekutu.

Penjagaan tentara Inggris di Istana Bogor


Jelas saja, ultimatum yang dikeluarkan secara sepihak oleh Inggris itu ditolak mentah-mentah oleh pemerintah dan pihak keamanan RI. Namun pada akhirnya, dengan terpaksa mereka harus meninggalkan Istana atas perintah Ketua KNIP saat itu, Sutan Sjahrir yang menyarankan agar para pemuda untuk bekerja sama dengan Sekutu. Pada saat itu pula, seluruh petinggi pemerintahan RI di Bogor dan keluarganya dipindahkan ke daerah Dramaga dengan kawalan polisi negara.


Setelah Istana Bogor dikuasai oleh Inggris, sekutu pun mulai meluaskan kekuasaannya. Pada kali ini, bengkel mobil deVries dan Pabrik Ban Goodyear diambil alih, begitu juga dengan kamp Ursulinenklosster.


Kamp Ursulin di Jln Juanda, dan bengkel deVries di Panaragan.



Aksi sepihak dan sewenang-wenang tersebut membuat geram kaum Republik. Mereka pun segera mengadakan rapat yang dihadiri oleh kalangan pejuang RI. Rapat tersebut membahas penyerangan terhadap sekutu.


Pada 9 Desember 1945, iring-iringan pasukan Sekutu yang sedang menuju Bandung, dicegat dan digempur habis-habisan oleh tentara dan laskar di daerah Bojongkokosan, Sukabumi. Serangan yang menyebabkan banyak korban di pihak Sekutu itu memicu balas dendam Inggris dan NICA dengan melakukan pengeboman di daerah Cibadak pada 10 Desember 1945.

Setelah peristiwa itu, pihak Sekutu makin menjadi-jadi. Mereka sangat sering melakukan penggeledahan disertai pembakaran dan penembakan rumah-rumah rakyat yang dilakukan selama tiga hari berturut-turut sejak tanggal 16 s/d 18 Desember 1945.

Operasi sekutu itu dilakukan di daerah Panaragan Kidul, Gang Kepatihan, Gunung Batu dan Lebak. Hal yang sama dilakukan pihak sekutu di daerah Ciawi, Cinangneng, Ciluar, Depok, Cijeruk, Sindangbarang, Cikereteg, dan Pagentongan. Operasi pembersihan dari pihak sekutu itu berhasil memukul mundur para pejuang Republik.

Demi meredakan situasi yang terus memanas, Panglima Komandemen I Jawa Barat, Mayor Jenderal Abdul Kadir dengan ajudannya A.J.Mokoginta langsung datang ke Bogor dari Purwakarta untuk berunding dengan sekutu. Dalam perundingan itu dihasilkan bahwa TKR harus keluar dari Bogor demi kelancaran repatriasi Jepang dan APWI dari Bogor dan sekitarnya. Untuk kelancaran proses tersebut, pimpinan TKR di Karesidenan Bogor memperingatkan agar para pemuda, laskar, dan pejuang tidak mengganggu konvoi 11 truk yang akan melewati Cimande menuju Jakarta, karena isinya adalah para tawanan Jepang yang akan dipulangkan kembali ke kampung halamannya.

Konvoi Sekutu yang membawa tentara Jepang yang akan dipulangkan ke negara asalnya

Adapun di daerah Bogor hanya diizinkan polisi negara dan polisi tentara yang ditugaskan menjaga keamanan dan melakukan patroli bersama Polisi Militer Serikat. Sejak saat itu, pihak Inggris mulai menganggap kelompok bersenjata yang masih bercokol di Kota Bogor adalah para ekstrimis yang harus dibasmi.

Di luar kota Bogor, TKR masih bisa bergerak dengan leluasa. Pertempuran baru mereda setelah pasukan Sekutu meninggalkan Kotaparis.

Sementara di kalangan pemerintahan masih terjadi silang pendapat yang memicu perpecahan di kalangan republik. Oleh sebab istana Bogor telah jatuh ke tangan musuh, maka pemerintahan pun dilakukan di luar kota Bogor, yaitu di Dramaga. Bahkan terjadi aksi pemberontakan yang dilancarkan oleh Ki Narija dengan dukungan laskar Gulkut (Gulung Bukut), pimpinan Tje Mamat.

Mereka kemudian menyandera Residen Bogor R.Barnas Tanuningrat dan kepala polisi R.Enoh Danubrata lalu mencopot jabatannya, dan mengganti seluruh pejabat pemerintah karesidenan Bogor dengan orang-orangnya.

Aksi Ki Narija dan Tje Mamat itu nyaris saja mendapatkan pengakuan dari pemerintah RI di Jakarta karena kurangnya informasi tentang perkembangan sosial-politik di sekitar Jakarta-Bogor. Namun setelah mendapatkan laporan dari pejuang Bogor, para pimpinan di Jakarta segera memerintahkan agar pimpinan TKR di Bogor segera menindak tegas aksi Ki Narija dan kawan-kawannya itu.

Setelah mendapatkan perintah, pasukan gabungan dari Resimen Bogor yang terdiri dari Bataljon II pimpinan Mayor Toha, Bataljon III pimpinan Kapten Haji Dasuki Bakri, Polisi Istimewa pimpinan Muharam Wiranata Kusuma, Lasykar Hizbullah pimpinan R.E.Abdullah, dan Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar segera melakukan pengepungan untuk menangkap Ki Nariya dkk di Dramaga.

Pasukan Ki Nariya berhasil dilucuti, namun Tje Mamat berhasil kabur dan pada akhirnya ditangkap Lasykar Leuwiliang pimpina Sholeh Iskandar. Selanjutnya, Tje Mamat yang merupakan buronan dari Banten, dibawa ke Komandemen  Jawa Barat yang bermarkas di Purwakarta.


Perjuangan belum berhenti sampai disitu. Pada 25 Desember 1945, pihak Inggris dan NICA yang bermarkas di Kantor Polisi Negara Jalan Banten, tidak jauh dari Stasiun Bogor diserang oleh para pejuang yang terdiri dari laskar, tentara, dan rakyat. Pertempuran sengit terjadi di sekitar Jembatan Merah dan Stasiun Bogor. Peristiwa pertempuran ini menyebabkan gugurnya Kapten Muslihat setelah dihujani tembakan tentara Sekutu dan Gurkha.

Gugurnya kapten Muslihat disaksikan oleh rekan seperjuangannya, D.R Marzoeki Mahdi yang kipran dan perjuangannya bisa disimak dalam artikel berikut:

Dr Marzoeki Mahdi: Kiprah dan Perjuangan


Mengawali tahun 1946, situasi dan kondisi pemerintahan Bogor mulai pulih secara berangsur, khususnya kepolisian dan TKR yang sudah bersusah payah menindak tegas komplotan Ki Narija.

Pada saat bersamaan, pasukan Sekutu pun memperkuat pertahanannya di kantor polisi. Tembok-tembok sengaja dilubangi untuk dipasang mitralyur. Pos-pos penjagaan didirikan di beberapa wilayah, termasuk di setiap pintu-pintu masuk ke dalam kota seperti di Jembatan Situduit, Kedoenghalang, Bank Rakjat dan Ciburial.

Penjagaan super ketat dilakukan di sekitar Istana Bogor, Kamp Bataljon 12, Kamp Kedoenghalang (Sempur), Kantor Pajak, Sekolah Guru, dan Gereja Katolik. Sementara di area Kebun Raya dipasangi kawat-kawat listrik bertegangan tinggi dengan sebuah granat yang digantung setiap jarak 5 meter.




Tentara Gurkha juga kian intensif melakukan patroli dan penggeladahan terhadap rumah-rumah warga yang berujung pada aksi-aksi kekerasan seperti penjarahan, penembakan rakyat, dan pemerkosaan terhadap perempuan Indonesia.

Aksi tidak terpuji para tentara Gurkha tersebut mengundang protes keras dari Residen. Mereka mengajukan beberapa tuntuntan yaitu:


  1. Agar pasukan Gurkha dan kaum Indo untuk menyerahkan kembali senjaga-senjata milik polisi yang dijarah mereka,
  2. Membebaskan orang-orang yang telah ditangkap / diculik.
  3. Mengembalikan barang-barang jarahan milik rakyat.
  4. Agar pasukan Gukha segera hengkang dari Kebun Raya demi keamanan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad