Kiprah Ulama dan santri di perang kemerdekaan - Sejarah BOGOR

Post Top Ad

Kiprah Ulama dan santri di perang kemerdekaan

Share This

Revolusi sosial yang pernah terjadi terhadap penguasa pemerintah kolonial senantiasa melibatkan para ulama dan kiai, seperti peristiwa pemberontakan di Cilegon, Banten tahun 1888 yang dipelopori oleh K.H.Wasid, begitu juga yang terjadi di Labuan pada 1926 oleh K.H.Asnawi dan K.H.Tb Ahmad Khatib. Namun perlawanan tidak hanya dilakukan dalam bentuk konflik fisik saja, tapi juga dalam bentuk perjuangan sosial lain, seperti pendirian organisasi sosial Indonesia pertama yaitu Syarikat Dagang Islam di tahun 1905 oleh kaum santriyin dari Kota Surakarta.



Setelah tahun 1912, mulailah banyak berdiri organisasi-organisasi politik di Indonesia yaitu Syarikat Islam (1912), Persatuan Muslimin Indonesia (Sumatera,1938), Partai Islam Indonesia (1938) dan mulai berperannya organisasi Islam lain seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, dan lain sebagainya.

Setelah kedatangan Jepang di tahun 1942, para santriyin ini memanfaatkan pendidikan keprajuritan yang dihidupkan oleh pemerintah pendudukan militer Jepang dalam bentuk PETA (Pembela Tanah Air). Angkatan pertama Daidan PETA hampir seluruhnya berisikan para ulama, mulai dari K.H Abdullah bin Nuh, K.H Syam'un, dan K.H Ahmad Khatib. Di waktu yang bersamaan, terbentuklah barisan rakyat Hizbullah yang berpusat di Cibarusah, Kabupaten Bogor.

Meskipun Jepang saat itu tengah gencarnya melaksanakan politik propaganda dengan merangkul umat Islam, namun perlawanan para santri terhadap militer jepang tidak pernah berhenti. Pada tahun 1944, di Singaparna, Tasikmalaya terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh K.H Zaenal Mustafa.

Di wilayah Bogor, sejak tahun 1945 s/d 1949 banyak kiai dan para ulama dari kalangan pondok pesantren yang ikut berperan aktif dalam perang mempertahankan kemerdekaan.

Di Leuwililang, malam hari setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi 17 Agustus 1945 terjadi pertemuan yang dihadiri oleh Cudanco PETA, H.Dasuki Bakri yang melahirkan Markas Perjuangan Rakyat.

Sejak itulah, bermunculan gerakan rakyat yang dimotori oleh para ulama dan pengasuh Pondok Pesantren, seperti:

  • Terbentuknya laskar Hizzbullah pimpinan E. Effendi dan E.M Kurdi, serta pasukan bekas PETA pimpinan H.Dasuki Bakri dan R. Tarmad Atmawidjaya.
  • Pelucutan senjata Dai Nippon yang terjadi di daerah Nanggung dan Kracak.
  • Pendirian pemerintahan Republik dengan ulama di garis depan pemerintahan seperti di Banten dengan jabatan kepala daerah hingga tingkat kelurahan dipimpin oleh para ulama.
  • Di Bogor pun disusun pemerintahan di tingkat karesidenan, kotamadya dan kabupaten yang dikoordinir oleh R. Husein Sastranegara dan M. Junus, adapun jabatan Kepala Polisi Karesidenan dan Kotamadya Bogor saat itu dipegang langsung oleh Sekutu sebagai pihak yang mengambil alih keadaan.
  • Di Bogor Barat terjadi pembubaran pemerintahan tanah partikelir dari yang tadinya dikuasai oleh tuan tanah, diganti dengan pemerintahan republik hingga ke tingkat desa. Di siniilah para kiai dan ulama ikut berperan aktif, seperti K.H Abdul Hamid yang menjadi Camat Leuwiliang.
  • Di setiap pelosok pedesaan pun didirikan markas-markas perjuangan yang fungsinya menghimpun dan memelihara potensi desa dan mengumpulkan perbekalan sehingga lumbung-lumbung padi akan selalu terisi penuh. Koordinasi perbekalan dipegang oleh E. Sanusi dari Leuwiliang.
  • Pengembangan unit usaha yang diharapkan bisa membantu dana perjuangan seperti pengelolaan pabrik teh di perkebunan Cileluksa, Pasir Madang Cigudeg yang sebagian besar produksinya diselundupkan ke daerah pendudukan Belanda untuk ditukar dengan pakaian, obat-obatan, bahan bakar dan onderdil senjata.

Selain perlawanan dalam bentuk fisik, kegiatan non fisik pun senantias dilakukan dalam rangka menumbuhkan kepercayaan diri para santri dan pejuang dengan melakukan do'a massal, shalat tahajjud, shalat hajat, dan qunut nazillah begitu pun pengumpulan senjata-senjata rampasan dari pihak musuh.



Selama masa revolusi fisik 1945 s/d 1949, ada beberapa peristiwa perang kemerdekaan yang melibatkan ulama dan santri di Bogor, di antaranya adalah:

Pertempuran di daerah Sindangbarang, Bogor di bawah pimpinan K.H Djamsari yang mengakibatkan gugurnya 26 orang syuhada.

Pertempuran di Sindangbarang, Bogor di bawah pimpinan KH Jamsari yang menyebabkan gugurnya sekitar 26 syuhadah.

Serangan laskar Hizbullah terhadap tentara Sekutu di Babakan, Parung, Ciseeng pada 13 Juni 1946 yang menyebabkan gugurnya Ustadz M. Muchtar, kompi komando Iyon Hizbullah pimpinan Effendi.

Serangan terhadap Istana Bogor dan markas Sekutu di Kota Paris yang dilakukan bersama TKR (Tentara Keamanan Rakjat). Dalam peristiwa itu K.H Djamsari (Ciledung, Leuwiliang), K.H Emoj Muhammad (Kahrekel, Leuwiliang), dan H. Encep Karta gugur sebagai Syuhada.

Serangan terhadap sekutu di Leuweung kolot (Cibungbulang) oleh laskar Hizbullah pimpinan Saleh Fajar dan Abdur Rahiem. Dalam peristiwa itu, pasuka sekutu banyak kehilangan senjata dan sebuah kendaran lapis baja.

Baca lagi: Pengalaman beli mobil bekas di Seva Pusat Mobil Murah

Pertempuran di daerah Cihideung (kini Kampus IPB), yang menyebabkan Mayor Jenderal Tarmad Admawidjaja terluka terkena tembakan.

Pertempuran di Gunung Menyan yang dipimpin K.H Abdul Hamid yang berlangsung selama tiga hari. Serangan balasan kemudian dilancarkan oleh pihak Sekutu dibantu NICA dengan membumi hanguskan Kampung Pasarean dalam serangan udara.

Situasi dan kondisi di Bogor mulai berubah setelah adanya perundingan Linggarjati. Pihak pejuang Republik yang saat itu masih berada di Markas TKR Ciampea, Bogor Barat serta Polisi Tentara di Cibatok, dan Batalyon Hizbullah di Leuwiliang harus berpindah tempat.

Markas TKR dipindahkan ke perkebunan Cianten, sedangkan Batalyon Hizbullah dan Polisi tentara dipindahkan ke perkebunan Cikasungka di Cigudeg. Kondisi ini tentu merugikan pihak pejuang karena markas mereka yang berada di lokasi yang tidak strategis dan mudah sekali digempur musuh.

Perundingan Linggarjati juga menyebabkan arus pengungsian besar-besaran karena banyak kampung yang saat itu dikuasai oleh Belanda dan Sekutu. Dari beberapa pengungsi tersebut, terdapat beberapa tokoh nasional di antaranya adalah R. Ipik Gandamana, R.E Abdullah, dan Jussi Yusuf.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad